Minggu, 04 Juli 2010

BAB 1 PENDAHULUAN BAB 11 PEMBAHASAN Dalam makalah ini akan dibahas beberapa pasal : Pasal pertama : Hukum zakat fitrah 1. Jumhur ulama berpendapat wajib. 2. Pengikut malik periode akhir dan ulama Irak berpendapat bahwa zakat fitrah hukumnya sunah. 3. Sebagian ulama lain berpendapat hukumnya dinasakh (dihapus) oleh kewajiban zakat secara umum. Sebab perbedaan pendapat : adanya kontrakdisi beberapa hadits-hadits dala hal ini. Yang pertama hadits dari Abdullah bin Umar, ia berkata, “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah setelah puasa Ramadhan kepada orang Islam merdeka dan budak laki-laki ataupun perempuan berupa satu sha’ kurma atau gandum. Zhahir hadits ini menunjukkan hukum wajib bagi yang berpendapat bahwa perintah pada asalnya adalah menunjukkan wajib, atau menunjukkan hukum sunah bagi yang berpendapat bahwa asal perintah adalah sunah. Hadits yang menyangkut orang Badui : “Rasulullah SAW menuturkan tentang zakat, lalu orang Badui bertanya, ‘Apakah ada lagi yang lainnya?. Rasulullah menjawab, ‘ Tidak ada, kecuali bila kamu ingin memberikan dengan suka rela.“ Jumhur ulama berpendapat bahwa zakat ini masuk dalam kategori zakat wajib, sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa zakat tersebut tidak masuk dalam kategori zakat wajib, mereka berpedoman pada hadits dari Qais bin Sa’ad bin Ubadah, dimana ia berkata : “Rasulullah SAW pernah memerintahkan kami membayar zakat fitrah sebelum turun ayat tentang zakat, setelah ayat tentang zakat turun, kami tidak diperintahkan mengeluarkan zakat fitrah dan tidak dilarang, namun kami tetap melaksanakannya. Pasal kedua : Orang yang wajib zakat fitrah dan yang menanggunya Para ulama telah sepakat bahwa yang wajib berzakat fitrah adalah semua orang Islam laki-laki dan perempuan, baik anak kecil maupun orang dewasa, merdeka ataupun budak, berdasarkan ha dits dari Ibnu Umar di atas. Kecuali AL-Laits dalam pendapat syatz berkata, “Penghuni kemah (penduduk nomaden) tidak wajib berzakat fitrah, hanya wajib bagi orang-orang yang ber tempat tinggal tetap.” Pendapat ini tidak beralasan. Pendapat lain yang syadz adalah bahwa anak yatim tidak wajib berzakat fitrah. Menurut kesepakatan para ulama, penanggungnya adalah masing-masing individu, karena zakat adalah zakat fisik atau diri, bukan zakat harga benda. Anak kecil yang tidak punya harga ditanggung oleh orang tuanya dan budak yang tidak berharta ditanggung oleh majikannya. Di luar hal tersebut para ulama berbeda pendapat. Malik Syafi’I sepakat bahwa zakat fitrah seseorang menjadi tanggungan orang yang berkewajiban memberi nafkah. Namun, antara Malik dan Syafi’I terjadi perbedaan tentang nafkah, siapakah penanggung nafkah seseorang yang tidak mampu? 1. Abu Hanifah berpendapat bahwa seorang istri menzakati dirinya sendiri. 2. Abu At-Tsaur berpendapat bahwa seorang budak menzakati dirinya sendiri apabila dia mempunyai harta dan majikannya tidak menzakatinya. Ini identik dengan madzhab Zhahiri dan Jum hur ulama bahwa orang tua tidak wajib menzakati anak-anaknya, apabila mereka mempunyai harta untuk zakat fitrah. Ini sesuai dengan pendapat Syafi’I, Abu Hanifah, dan Malik. 3. Al Hasan berpenda pat bahwa orang tua tetap menanggung z akat anak-anaknya yang kecil, walaupun zakat tersebut diambil dari harta milik anak-anak itu, karena orang tua sebagai penanggung jawab. Para ulama tidak membatasi zakat fitrah bagi si kaya saja dan tidak pula disyaratkan satu nishab. Syaratnya hanyalah ada kelebihan makanan pokok para hari itu untuk membayar zakat dan keluarganya. 4. Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat bahwa zakat fitrah tidak wajib bagi orang-orang yang berhak menerima zakat, karena mengakibatkan berstatus rangkap, sebagai pemberi dan penerima zakat. 5. Jumhur ulama berpendapat bahwa zakat fitrah itu wajib bukan karena mukalaf seperti ibadah yang lain, namun, karena sisi lain, sehingga anak kecil dan budak juga wajib mengeluarkan zakat fitrah. Apabila illat hukum didasarkan atas status wali, maka awali wajib menzakati orang-orang yang dalam perwaliannya, seperti ayah menjadi wali anaknya. Dalam hal ini, suami bukan wali istrinya sehingga istri wajib menzakati dirinya sendiri, bukan dizakati oleh suaminya seperti pendapat Abu Hanifah. Apabila illat hukum didasarkan atas nafkah, maka anak dizakati oleh ayahnya dan istri juga dizakati oleh suaminya, karena nafkah anak menjadi tanggungan ayahnya dan nafkah istri menjadi tanggungan suaminya, seperti pendapat Malik. Aada hadits marfu’ sebagai berikut : “Bayarlah zakat fitrah orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggunganmu.” Namun hadits ini tidak masyhur. Kemudian para ulama berbeda pendapat tentang budak dalam beberapa masalah : Pertama,segaimana yang kita katakan, zakatnya menjadi tanggungan majikannya. Kedua, bagaimana jika budak tersebut kafir? 1) Malik, Syafi’I dan Ahmad berpendapat bahwa majikan tidak wajib menzakati budak yang kafir. 2) Ulama Kufah berpendapat bahwa budak kafir wajib dizakati oleh majikannya. Sebab perbedaan pendapat : Perbedaan dalam memahami kata yang tercantum dalam hadits Ibnu Umar, “Dari kaum Muslimin,” namun dalam hal ini tidak disepakati oleh Nafi’, dan juga Ibnu Umar sebagai perawi hadits bahwa madzhabnya adalah dikeluarkannya zakat dari hamba sahaya kafir. Esbab lain adalah apakah budak itu sebagai orang yang mukallaf, maka mensyaratkan Islam. Sedangkan ulama yang berpendapat sebagai harta kekayaan, maka tidak mensyaratkan Islam. Pendapat tersebut identik dengan ijma’ ulama bahwa budak yang dimerdekaan dan zakat fitrahnya tidak dibayar oleh majikannya, maka budak tersebut tidak wajib menzakati dirinya, lain halnya dengan masalah kafarat. Ketiga, budak yang berusaha memerdekaan diri dengan mencicil bayarannya (mukatab) : 1) Malik dan Abu Tsaur berpendapat bahwa majikannya wajib menzakatinya. 2) Syafi’I Abu Hanifah, dan Ahmad berpendapat bahwa majikannya tidak wajib menzakatinya. Sebab perbedaan pendapat : adanya pertentangan antara ket entuan umum dengan Qiyas. Secara umum, kata budak mencakup juga budak yang diperdaga ngkan, maka budak yang diperdagangkan wajib dizakati. Menurut Abu Hanifah ket entuan umum tersebut ditakhsis (dibatasi) oleh qiyas, yaitu mengakibatkan dua zakat dalam satu harta. Masalah lain yang diperselisihkan zakatnya adalah budak yang dimiliki oleh seseorang budak, dan banyak lagi masalah yang lain. Pasal ketiga : Apa yang diwajibkan untuk zakat fithrah 1. Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat fitrah itu berupa burr (sejenis gandum bermutu baik), kurma, sya’ir (sejenis gandum biasa), kismis (anggur kering) atau keju, yang mana saja boleh ia keluarkan. 2. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa zakat fitrah berupa makaan pokok daerah setempat atau makanan pokok mukallaf jika tidak mampu dengan makanan pokok daerah setempat. Demikian yang dituturkan oleh Abdul Wahab dari madzhabnya. Sebab Peredaan pendapat : Adanya perbedaan pemahaman terhadap hadits Abu Sa’id Al Khudri, dimana ia berkata. “Di masa Rasulullah SAW kami mengeluarkan zakat fitrah berupa satu sha’ makanan, satu sha’ g andum, satu sha’ keju, atau satu sha’ kurma. Ulama yang memahami hadits tersebut sebagai paparan pilihan, berpendapat bahwa zakat fitra h boleh berupa salah satu dari jenis-jenis yang disebutkan itu. Adapun Ulama yang memahami bahwa hadits tersebut menggambarkan makanan pokok, berpendapat bahwa zakat fitrah berupa makanan pokok di darah setempat. Adapun kadar yang harus dizakatkan, maka para ulama sepakat bahwa zakat fit rah tidak boleh kurang dari satu sha’ baik kurma atau gandum dan sebagainya, berdasarkan hadits Ibnu Umar. Namun mereka berbeda pendapat tentang ukuran yang harus dizakatkan pada al qamh (sejenis gandum) : 1. Malik dan Syafi’I berpendapat tidak boleh kurang dari satu sha’ 2. Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat bahwa ukuran gandum cukup setengah sha’ Sebab perbedaan pendapat : Adanya kontradiksi antara beberap ahadits berikut : Hadits dari Abu Sa’id Al Khudri, “Pada masa Rasulullah SAW kami mengeluarkan zakat fitrah berupa satu sha’ makana, satu sha’ gandum, satu sha’ keju, satu sha’ kurma, atau satu sha’ anggur (kismis). Secara zhahir bahwa kata makanan dalam hadits tersebut yang dimaksudkan adalah al qamh (gandum). Az-Zuhri meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW te ntang zakat fitrah : “Satu sha’ biji gandum (al bur) antara dua orang, satu sha’ sya’ir (jenis gandum) atau kurma d ari setiap orang. Dan diriwayatkan dari Ibnu Al Musayyib bahwa ia berkata : “Zakat fitrah di masa Rasulullah SAW berupa setengah sha’ hinthah (jenis gandum), satu sha’ sya’ir (jenis gandum), atau satu sha’ kurma. Ulama yang mengambil hadits ini sebagai daar berpendapat bahwa al burr cukup setengah sha’. Ulama yang memahami hadits Abu Sa’id secara eksplisit dan Mengqiyaskan al burr dalam hal ini kepada sya’ir berpendapat bahwa keduanya sama saja, yakni satu sha’. Pasal keempat : Kapan diwajibkan membayar zakat fitrah Adapun kapan diwajibkan membayar zakat fitrah, maka para ulama sepakat pada akhir-akhir bulan Ramadhan, berdasarkan hadits Ibnu Umar, “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah di akhir bulan Ramadhan.” Namun mereka berbeda pendapat dalam menentukan waktunya : 1. Malik dalam riwayat Ibnu Al Qasim berpendapat pada saat muncul fajar di pagi Hari Raya. 2. Malik dalam riwayat asybab berpendapat setelah mat ahari t erbenam di akhir bulan ramadhan. 3. Abu Hanifah sependapat dengan riwayat Ibnu Al Qasim. 4. Sedangkan Syafi’i sependapat dengan riwayat Asyhab. Sebab perbedaan pendapat : Apakah zakat fitrah itu ibadah yang terkait dengan Hari Raya atau terkait dengan lewatnya bulan Ramadhan? Karena malam hari raya tidak termasuk bulan Ramadhan. Faidah dari perbedaan pendapat ini adalah bahwa bayi yang lahir sebelum fajar hari Raya dan setelah matahari terbenam, apakah wajib zakat fitrah atau tidak. Pasal kelima : orang yang berhak menerima zakat fitrah Para ulama telah Ijma’ (Sepakat) bahwa zakat fitrah diberikan kepada orang-orang fakir dari kaum muslimin, berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Cukupi mereka pada hari ini dari meminta-minta.” Namun mereka berbeda pendapat bolehkah zakat fitrah diberikan keapda fakir yang kafir dzimmi : 1. Jumhur ulama berpendapat tidak boleh 2. Abu Hanifa h berpendapat boleh Sebab perbedaan pendapat : apakah bolehnya menerima itu sebab fakir saja at atau sebab fakir d an Islam? Ulama yang mengatakan bahwa sebabnya fakir dan Islam, maka orang fakir dari kafir dzim mi tidak boleh menerima zakat fitrah. Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa sebabnya hanya fakir, maka orang f akir yang kafir dzimmi boleh menerima zaka fitrah. Namun oleh sebagian ulama yang membolehkannya disyaratkan orang fakir yang kafir dzimmi tersebut harus berstatus sebagai rahib atau pendeta. Dan kaum muslimin telah sepakat bahwa zakat harta benda tidak boleh diberikan kepad aorang kafir dzimmi berdasarkan hadits Nabi SAW, “Zakat yang diambil orang-orang kaya mereka (muslimin) dan dibagikan kepada orang-orang fakir mereka.” BAB 111 PENUTUP DAFTAR PUSTAKA